MBAH SADIMAN, PAHLAWAN PENGHIJAUAN DARI WONOGIRI
Mbah Sadiman, demikian dia biasa disapa, memang hanya warga biasa di kampungnya. Bahkan rumah 9 x 6 meter berlantai tanah yang dia huni bersama istrinya seperti terselip di antara rumah-rumah warga lain yang cukup besar dan kokoh. Dia dan istri menghidupi diri sebagai petani penggarap lahan tumpangsari di areal Perhutani. Yang paling menopang hidupnya adalah menjual rumput di areal hutan untuk dijual di pasar.
Mbah Sadiman, seorang diri memerdekakan tempat tinggalnya dari kekeringan
Namanya Mbah Sadiman, usianya 61 tahun. Buat saya, beliau lah pahlawan pengisi kemerdekaan yang sesungguhnya. Ia berhasil memerdekakan warga di sekitar Gunung Gendol, Bulukerto, Wonogiri dari kekeringan dan krisis air bersih, begitulah penggalan status Facebook Irin Khairina tanggal 18 Agustus lalu. Statusnya banyak menyita perhatian publik dan telah di-share hampir 2500 pengguna Facebook.
Namanya Mbah Sadiman, usianya 61 tahun. Buat saya, beliau lah pahlawan pengisi kemerdekaan yang sesungguhnya. Ia berhasil memerdekakan warga di sekitar Gunung Gendol, Bulukerto, Wonogiri dari kekeringan dan krisis air bersih, begitulah penggalan status Facebook Irin Khairina tanggal 18 Agustus lalu. Statusnya banyak menyita perhatian publik dan telah di-share hampir 2500 pengguna Facebook.
Mbah Sadiman yang dimaksud Irin adalah penerima penghargaan Radar Solo Award 2015 untuk kategori Lingkungan Hidup bulan April lalu. Ya, Mbah Sadiman memperoleh penghargaan tersebut karena perjuangannya selama 19 tahun terakhir dalam menghijaukan area Gunung Gendol, Kecamatan Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah. Sebenarnya ia tidak pernah hitung-hitungan, mengharap pujian atau popularitas apapun dari aksinya selama ini. Ia ikhlas melakukannya demi menyelamatkan tempat tinggalnya dari kekeringan. Mbah Sadiman saat menerima penghargaan Radar Solo Award 2015 (Radar Solo) itu.
Bahkan saat ditanya sampai kapan ingin menanam pohon. Mbah Sadiman dengan tegas menjawab, “Nggih ajeng nandur terus, yen isih diparingi bagas waras tetep nandur (Ya akan terus menanam pohon, jika masih diberi kesehatan, bahasa Jawa red)”, tandasnya.
Pria yang tinggal di Dusun Dali, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah ini telah 19 tahun menanam pohon seorang diri. Tahun 1995, kala itu suhu udara di desanya makin panas, padahal desanya berada di lereng gunung. Debit air di sungai-sungai yang berhulu di pegunungan sisi utara kian mengecil dan hanya mengalir saat hujan. Hal ini terjadi karena banyaknya mata air yang mati.
Nalurinya mengatakan, kondisi alam ini terjadi akibat kerusakan hutan. Banyak pohon penyerap air yang dihilangkan untuk diganti dengan pinus. Awal tahun 1996, Mbah Sadiman nekat memulai aksi yang oleh kebanyakan tetangganya dianggap konyol dan membuang-buang waktu. Yaitu berburu bibit beringin serta bibit pohon penyerap air lainnya. Ia tak menghiraukan anggapan tetangganya. Ia terus mencari bibit pohon beringin, pohon bulu dan aneka macam tanaman keras lainnya.
Bibit beringin harganya cukup mahal, berkisar Rp 50.000 hingga Rp 100.000. Awalnya Mbah Sadiman mencangkok pohon beringin di hutan untuk memperoleh bibit secara gratis. Namun cara ini butuh banyak usaha dan waktu. Hal ini membuatnya rela membeli bibit pohon dengan uang pribadinya walaupun hidupnya sebagi petani dan pencari rumput untuk ternak tidak menjajikan banyak materi alias pas-pasan. Hal inilah yang kerapkali membuat istrinya protes.
Kemudian ia menyemai bibit cengkih di halaman rumahnya untuk dijual. Hasil penjualan bibit cengkih ia gunakan untuk membeli bibit pohon beringin. Sepuluh bibit cengkih bisa ditukar dengan satu bibit beringin ukuran satu meter.Hal dilakukannya agar uang untuk kebutuhan dapur tak terganggu.
Sadiman mengurus bibit cengkeh yang ia akan digunakannya untuk ditukar dengan bibit pohon beringin (Rappler).
Tak terasa, sampai saat ini sedikitnya 11.000 pohon – 4.000 di antaranya beringin – sudah ia sedekahkan untuk alam. Itu pun belum termasuk ribuan batang pohon lamtoro yang tumbuh dari benih yang ia sebarkan di seluruh penjuru hutan. Pohon talok pun sengaja ditanam untuk menyediakan makanan bagi kera agar tak merambah tanah pertanian. Karenanya, Sadiman menjadi satu-satunya orang yang mendapat izin menanami lahan yang dikelola oleh Perhutani itu.
Kemerdekaan bagi Mbah Sadiman
Di tengah-tengah semarak hari kemerdekaan ini, dimana sebagian besar masyarakat menyambutnya dengan sukacita perayaan, ia tetap setia melangkahkan kaki menyusuri hutan, memaknai kemerdekaan menurutnya sendiri. Bagi Mbah Sadiman, kemerdekaan itu sederhana. Yaitu hutan kembali hijau, mata air kembali deras dan mencukupi kebutuhan semua orang, termasuk untuk irigasi ladang.
Di tengah-tengah semarak hari kemerdekaan ini, dimana sebagian besar masyarakat menyambutnya dengan sukacita perayaan, ia tetap setia melangkahkan kaki menyusuri hutan, memaknai kemerdekaan menurutnya sendiri. Bagi Mbah Sadiman, kemerdekaan itu sederhana. Yaitu hutan kembali hijau, mata air kembali deras dan mencukupi kebutuhan semua orang, termasuk untuk irigasi ladang.
Hampir setiap hari ia menjelajahi hutan, jika tidak sedang mengerjakan ladangnya. Ia bertani padi, tetapi lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus pohon-pohon beringin yang ia tanam di hutan atas. Menapaki jalan sempit berbatu di tepi jurang menganga. Kakinya masih cukup kuat dan cekatan menyusuri jalur terjal naik-turun di antara rumput dan batuan. Lereng-lereng curam pun tak luput ditanami pohon oleh Mbah Sadiman (Rappler).
“Kalau pohon yang masih kecil-kecil tidak dirawat bisa rusak dan mati,” ujarnya sembari menunjukkan beberapa pohon yang ia tanam di lereng bukit curam.
“Niat saya dari awal hanya ingin menghidupkan sumber air di gunung yang sudah lama kering. Saya pertama kali menanami beringin karena pohon ini bisa menyimpan cadangan air tanah,” kata Mbah Sadiman.
Berkat usaha dan kegigihannya, keadaan mulai membaik beberapa tahun lalu. Beberapa mata air yang bersumber di Gunung Gendol kembali mengalir dan mampu menghidupi sedikitnya 3.000 jiwa. Bahkan di saat musim kemarau panjang, ketika wilayah Wonogiri lainnya mengalami kekeringan dan mengandalkan air bersih dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, desa tempat tinggal Sadiman bebas krisis air. Setidaknya, mata air masih mencukupi kebutuhan minum dan sanitasi.
Di bagian hulu, deretan pipa paralon mengalirkan air dari mata air dan meneruskannya ke bak-bak penampungan di setiap rumah. Penduduk saat ini bisa menikmati air segar pegunungan secara gratis. Mereka cukup menyediakan dana swadaya untuk membuat instalasi pipa.
Berkat upaya penghijauan yang dilakukan Mbah Sadiman, mata air kembali mengaliri Desa Geneng dan Desa Conto (Rappler)
“Memang belum semua desa bisa teraliri air. Saya ingin lebih banyak penduduk bisa menikmati air bersih,” kata Mbah Sadiman.
Kepala Desa Geneng, Tarno, menyebut Sadiman sebagai pribadi yang ikhlas karena tidak pernah berharap imbalan dari pemerintah atau orang lain dalam menghijaukan hutan. Ia mengakui upaya Mbah Sadiman telah banyak membantu warga desa sehingga dapat menikmati air bersih.
“Dulu orang menimba air dari sumur di tepian sungai, kalau musim kemarau selalu kering,” kata Tarno. “Sekarang semuanya lebih mudah, setidaknya cukup air untuk kebutuhan rumah tangga sebagian besar warga desa”, lanjutnya.
Desa Geneng terdiri dari 839 keluarga, lebih dari 600 di antaranya mendapatkan akses air bersih dari mata air di Gendol. Sedangkan di Desa Conto, ada dua dusun yang juga memanfaatkan alirannya.
Keberhasilan Mbah Sadiman memperbaiki hutan kini menimbulkan kesadaran bagi warga setempat tentang pentingnya pohon. Sebagian masyarakat yang dulu abai terhadap penghijauan dan menganggap usaha Mbah Sadiman sia-sia, kini mulai ikut peduli terhadap lingkungan. “Beberapa dusun mulai kompak ikut mendukung usaha Pak Sadiman karena mereka sudah melihat hasilnya,” kata Tarno.
Tak Mudah Menyerah
Pekerjaan Mbah Sadiman dalam menanan dan merawat pohon bukanlah tanpa kesulitan. Tidak semua pohon yang ia tanam tumbuh begitu saja. Banyak yang rusak, mati, atau dipangkas orang untuk makanan kambing, namun ia tak gampang menyerah dan terus menanam bibit baru. Bahkan ada juga pohon yang dicabut orang yang tidak setuju lahan yang disewa untuk merumput, ditanami pohon olehnya. Beberapa kali ia terpaksa mengumpulkan uang untuk membayar sewa lahan agar ia bebas menanami pohon.
Pekerjaan Mbah Sadiman dalam menanan dan merawat pohon bukanlah tanpa kesulitan. Tidak semua pohon yang ia tanam tumbuh begitu saja. Banyak yang rusak, mati, atau dipangkas orang untuk makanan kambing, namun ia tak gampang menyerah dan terus menanam bibit baru. Bahkan ada juga pohon yang dicabut orang yang tidak setuju lahan yang disewa untuk merumput, ditanami pohon olehnya. Beberapa kali ia terpaksa mengumpulkan uang untuk membayar sewa lahan agar ia bebas menanami pohon.
“Saya bayar sebagai ganti rumputnya agar saya bebas menanami pohon tanpa diganggu,” kata Mbah Sadiman.
Mbah Sadiman sadar bahwa penghijauan adalah pekerjaan jangka panjang yang hasilnya baru bisa dinikmati dalam hitungan tahun. Karenanya, menghijaukan hutan tidak hanya butuh kesabaran, melainkan juga usaha yang terus berkesinambungan.
“Penghijauan tidak hanya menanam bibit saja, tetapi juga menjaganya agar tumbuh menjadi pohon besar dan mencegah penebangan,” ujarnya.
Melihat usaha Mbah Sadiman yang gigih dalam memulihkan hutan, masyarakat setempat menobatkannya sebagai salah satu tokoh inspiratif lokal di bidang lingkungan. Bupati Wonogiri, Danar Rahmanto ingin mengusulkan Sadiman ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menerima penghargaan Kalpataru atas pengabdiannya terhadap hutan dan mata air.
“Dulu mata air ini tidak ada, setelah ditanami pohon-pohon besar kembali deras, bahkan saat kemarau,” kata Danar.
Mbah Sadiman menanam dan merawat pohon-pohonnya dengan serius. Ia membeli sendiri pupuk untuk mendukung pertumbungan tanaman, membuat tulisan larangan penebangan pohon di hutan dan menyiapkan beberapa kader pemuda untuk peduli merawat hutan.
Saat ini, Mbah Sadiman masih membutuhkan sekitar 20.000 bibit pohon lagi untuk ia tanam agar hutan lebih hijau, sekaligus meningkatkan debit air sehingga bisa dinikmati lebih banyak penduduk. Ia juga bisa menerima donasi selain bibit pohon beringin, asal berupa tanaman kayu keras yang berakar kuat.
Mbah Sadiman sudah mengajukan permintaan bibit ke pemerintah, namun sampai sekarang belum ada bantuan sama sekali. Beberapa kali ia menerima sumbangan dari perseorangan sebagai penghargaannya merawat hutan, tetapi tidak pernah masuk kantong pribadinya.
“Pak Sadiman itu kalau dikasih uang Pak Camat, Bupati, atau siapa saja, semuanya dibelikan bibit pohon, tak pernah untuk kebutuhan pribadi dia,” ujar Rahmat, warga desa sekaligus tetangga yang mengagumi semangat petani tua itu. Mbah Sadiman justru lebih mengharapkan bibit pohon baru yang siap untuk ditanam. Ada yang tertarik membantu? I-One/Sumber:detik.com/banyuwanger.com
0 komentar:
Posting Komentar