Rabu, 30 Maret 2016

Profil Mbah Sadiman

Lahir dari keluarga yang sangat sederhana, sebuah desa pinggiran di ujung timur berjarak 70 km dari Kota Kabupaten Wonogiri, tepatnya di bawah bukit Gendol Ds Geneng, Bulukerto, Wonogiri, 4 Pebruari 1954 Beliau Mbah Sadiman dilahirkan.  Nama yang sederhana dan tak populer bagi siapapun yang mendengar bahkan tak memiliki arti tak terkecuali bagi kedua orang tua Beliau.
Umur 6 tahun Beliau mengenal pelajaran membaca, menulis dan menghitung ( calistung ) di  SD Negeri I Geneng Bulukerto, hingga lulus tahun 1965. Tidak selayaknya seperti anak – anak pada jaman sekarang, setelah menerima hasil kelulusan langsung mendaftar pada jenjang sekolah berikutnya, dan tidaklah demikian Mbah Sadiman. Beliau baru melanjutkan sekolah 2 tahun setelah menerima hasil kelulusannya. Tahun 1967 Beliau sekolah di SMP Marhaen Bulukerto, dan mendapatkan kelulusan di tahun 1970.
Tahun 1971, Beliau sempat duduk di bangku STM Bangunan. Keinginan Beliau untuk melanjutkan Sekolah sangatlah luar biasa, meski Beliau sadar bahwa kondisi orang tua tidaklah memungkinkan. Dengan berbagai cara Beliau pikirkan. Pekerjaan apapun Beliau lakukan dengan satu tujuan melanjutkan sekolah. STM Bangunan Jatisrono adalah merupakan impian beliau, hanyalah dengan berbekal nekat (bahasa Jawa) Beliau mengejar impian tanpa dukungan orang tua beliau karena kondisi ekonomi memang tidak memungkinkan.
Untung tak dapat diraih, pil pahitpun akhirnya ditelan Beliau juga. Ucapan selamat tinggal pun akhirnya keluar dari desah nafas Beliau kepada teman, guru, bahkan Kepala Sekolah saat itu.  Hanya sampai di kelas Satu saja Beliau mampu meraih mimpi  di STM Bangunan Jatisrana. Kembali Beliau menyadari bahwa tidaklah mudah untuk meraih mimpi tanpa dukungan kedua orang tuanya.
Mbah Sadiman segera mengubur impian untuk bersekolah itu dalam-dalam. Segera setelah keluar sekolah Beliau juga meninggalkan desa kelahirannya di bawah bukit Gendol untuk mencoba mengais rejeki ke kota. Surabaya adalah kota tujuan Beliau. Dengan hanya berbekal tenaga dan pikiran, kini Beliau tak lagi mengejar dan meraih mimpi, akan tetapi mencoba tuk mengadu nasib.
Tidaklah mudah memang, hidup di kota besar sebatangkara.
“KERNEK” angkutan umum adalah pekerjaan beliau di kota Surabaya. Pekerjaan itu Beliau tekuni selama dua tahun hingga akhir tahun 1972. Dua tahun bekerja di kota tak mendapatkan sesuatu yang dia harapkan demi masa depan Beliau.
Tahun  1973 seorang sahabat menawari sebuah pekerjaan untuk bersama pergi ke Kalimantan Tengah di sebuah proyek bangunan. Ada kata Bangunan itulah Beliau merasa bangun kembali setelah 3 tahun tertidur dari impian. Tidak banyak dan panjang berfikir, berangkatlah Beliau ke Kalimantan Tengah. Satu tahun Beliau mampu bertahan di sebuah proyek bangunan tersebut, karena sungguh berat memang pekerjaan itu bagi Beliau.
Tahun 1974 Beliau kembali ke tanah kelahirannya di bawah bukit gendol. Beliau merasa tidak nyaman bila tinggal berlama-lama di rumah, karena tak ada lagi sesuatu yang dapat Beliau kerjakan. Kota Gresik adalah kota tujuan berikutnya. Lagi-lagi hanyalah berbekal tenaga dan pikirannya beliau mengadu nasib unstuck mengais rejeki di kota tersebut hingga beberapa kurun waktu lamanya sebagai buruh /kuli mobil.
Tahun 1981 Beliau ke lampung Utara, tepatnya di kota Ogan Lima bersama 4 orang sahabat bekerja di proyek Pembangunan Jalan Raya sebagai buruh koral.
Sepuluh tahun berikutnya, pada tahun 1991 Beliau kembali ke tanah kelahirannya di bawah bukit Gendol. Diusianya yang hampir 40 tahun, Beliau tak ingin lagi meninggalkan kampung halaman tanah kelahiran Beliau. Apalagi Beliau tak lagi sendiri. Istri dan kedua anak Beliau butuh kasih sayang dan ingin selalu dekat bersama Beliau. Mulailah beliau bekerja di hutan pinus di seputar bukit Gendol sebagai tukang sadap getah pinus. Meski hasil yang didapat  hanya Rp 125/kg Beliau tetap jalani demi keluarga.
Tahun 1996 Beliau kembali terbangun dari mimpi. Pekerjaan menyadap dianggapnya sebagai tindakan yang tidak manusiawi karena selalu menyayat dan melukai tanaman. Berhentilah Beliau dari tukang sadap. Ada beberapa alasan yang mendasari beliau berhenti dari tukang sadap:
1.   Kekeringan melanda masyarakat sekitar bukit Gendol akibat  kebakaran hutan yang menyebabkan perekonomian menjadi terpuruk.
2.      Keinginan untuk menghijaukan kembali bukit Gendol tersebut dari kebakaran.
3.      Menjadikan bukit Gendol sebagai taman rekreasi.
Dari beberapa alasan itulah tahun 1996 Beliau mulai aktif menanam pohon beringin dan pohon yang lain untuk menghijaukan bukit Gendol. Yang ada di benak Beliau di kelak kemudian hari tidak ada lagi kekeringan, kemiskinan bahkan banyak orang datang menikmati keindahan bukit Gendol.
Tidaklah mudah memang untuk bermimpi, yang oleh Beliau  dianggap mimpi sederhana akan tetapi apabila diterjemahkan mimpi Beliau butuh waktu 20 tahun seorang diri untuk berkorban, tidak hanya tenaga, pikiran, dan harta akan tetapi juga perasaan Beliau karena ejekan,cacimaki, yang datang bukan hanya dari sebagian warga sekitar namun datang juga dari keluarga. Tanaman Beliau pun tak luput dari babatan tangan-tangan jahat yang menganggap penghalang tanaman rumput warga.
Bagi Beliau anggapan seperti apapun tidak lagi beliau pikirkan.Ribuan beringin telah Beliau tanam, dan entah sudah berapa banyak beringin yang mereka tebang. Dengan hati sabar dan ikhlas Beliau tanami kembali, dan begitu seterusnya.
Sudah hampir 20 tahun berlalu, impian sederhana itu kini menjadi kenyataan.
1.   Bukit Gendol kembali hijau.
2.   Air melimpah bahkan di penghujung musim kemarau.
3.   Tak ada lagi kemiskinan di sekitar bukit Gendol.
4.   Banyak orang berdatangan di bukit Gendol karena keindahannya.
Penghargaan, pujian, ucapan selamat bahkan doa pun mengalir untuk Beliau Mbah Sadiman, tak terkecuali sebutan Pahlawan Penghijauan.

          61 tahun silam nama Sadiman tak bermakna, sekarang nama tersebut menggema ke seluruh pelosok negeri, bahkan  “HUTAN SADIMAN” bukit Gendol adalah nama yang pantas dikukuhkan untuk sebuah kawasan agro wisata “HUTAN SADIMAN” bukit Gendol, Ds Geneng, Kec. Bulukerto, Wonogiri.

Merawat Hutan Sadiman

Sadiman memeluk beringin yang dia tanam hampir 20 tahun lalu. Foto: Nuswantoro
Sadiman memeluk beringin yang dia tanam hampir 20 tahun lalu. Foto: Nuswantoro

Dusun Dali, Desa Geneng, Bulukerto, sekitar 70 km dari pusat Kota Wonogiri, Jawa Tengah. Ke rumah Sadiman, hanya bisa dengan ojek. Tak ada angkutan umum. Semua tukang ojek tahu siapa dan di mana rumah pria 62 tahun ini, terlebih sejak namanya kerap disebut media, bahkan sesekali muncul di televisi.
Jalan menuju Desa Geneng cukup menanjak. Awal beraspal, lalu hanya trasah batu. Mata akan dimanjakan pemandangan alam menawan. Pepohonan hijau nan rimbun diselingi hamparan indah sawah-sawah warga. Udara segar.
Rumah Sadiman ke pos terakhir di Kaki Bukit Gendol sekitar tiga kilometer. Kala ingin menikmati Lembah Gendol dan Ampyangan, harus menyusuri jalan setapak. Suguhan pemandangan alam indah dengan tebing menjulang kanan kiri. Tak jauh dari jalan setapak, mengalir sungai kecil, berkelok-kelok. Air begitu jernih. Sadiman sempat menunjukkan lokasi terbaik menikmati Bukit Gendol ini kepada saya. Surga tersembunyi di Wonogiri!     “Saya ingin membuat gubuk di sini,” katanya, Kamis, (10/3/16).

Tak hanya tanaman keras. tanaman hiaspun dia tanam di hutan. Foto: Nuswantoro
Tak hanya tanaman keras. tanaman hiaspun dia tanam di hutan. Foto: Nuswantoro

Relawan Sadiman
Upaya tanpa pamrih Sadiman menanami bukit gundul seorang diri selama 20 tahun kini mendapat dukungan banyak pihak. Salah satu, kelompok Gerakan Hijau Bumi (GHB) Wonogiri. Mereka mengusulkan nama bukit gundul yang sudah berhutan itu dengan Hutan Sadiman.
Yusanto, penggagas juga koordinator GHB menceritakan bagaimana dia “menemukan” sosok pejuang lingkungan ini.   “Sekitar 2003, saya berkenalan dengan Mbah Sadiman. Saya mendapat informasi dari guru lain soal kegiatan menanam bukit seorang diri dengan beringin,” katanya.
Dia tergerak dengan kegigihan Sadiman. Sekali waktu Sadiman meminta bantuan bibit ke pemerintah desa, tak diberi. Lalu ke kantor kecamatan juga mendapati hal sama, bahkan dianggap orang gila lalu diberi uang Rp20.000 untuk ongkos ojek pulang. “Ketika tak ada respon pemerintahan, saya berinisiatif membantu. Bersama teman-teman lain terbentuk Relawan Sadiman,” katanya.
Sadiman tak pernah mengajak orang. “Iya kalau mau, kalau tidak malah saya khawatir jadi sakit hati. Saya tidak sampai hati,” katanya.
Bersama Witono, kini wakil koordinator GHB, dan beberapa orang peduli terhadap penghijauan Sadiman, mereka mengadakan camping semalam di atas Bukit Gendol, September 2015. Keesokan hari mereka melanjutkan menanam beringin.
“Akhirnya, kami sepakat pakai nama Relawan Sadiman. Kita tak ingin Mbah Sadiman sendirian. Setelah itu mulai datang wartawan, hingga berita sampai ke pusat.”
Mereka juga membuat acara budaya bernama Ngrekso Bumi, di Bukit Gendol. Gelar budaya itu sebagai wujud rasa syukur sekaligus bentuk sedekah merawat bumi. Ada dua gunungan terbuat dari berbagai hasil pertanian yang diperebutkan pengunjung.
“Kami tak menyangka, pergelaran baru pertama kali itu bisa menarik ribuan orang,” kata Yusanto. Dia berharap, acara itu bisa menjadi daya tarik lain demi mengembangkan wisata berwawasan lingkungan (ecotourism) Desa Geneng.

Relawan Sadiman kini membantu membantu merawat perbukitan di Bulukerto. Foto: Nuswantoro
Relawan Sadiman kini membantu membantu merawat perbukitan di Bulukerto. Foto: Nuswantoro

Mereka sepakat membuat lembaga berbadan hukum berbentuk yayasan. Sayang, permohonan izin tak semulus harapan. Kementerian Hukum dan HAM menyarankan mengganti kata gerakan dengan yang lain. Kini, mereka mencari kata pas untuk nama yayasan itu. “Kita juga mengusulkan nama Hutan Sadiman. Mbah Sadiman pinginhutan Adem Ayem.”
Kegiatan besar terakhir yang mereka pada 30 November 2015 lewat aksi penanaman 10.000 pohon di Hutan Sadiman dan mengundang siapa saja untuk menjadi Relawan Sadiman. Bermodalkan publikasi di media sosial, dan melibatkan para pelajar, mereka kaget kegiatan itu mendapat tanggapan luar biasa. Lebih 3.000 orang terlibat. Para relawan datang dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bali selain dari Wonogiri.
Guna memudahkan peserta mencapai puncak Bukit Gendol, Sadiman membuatkan teras tanah seperti anak tangga sampai ke puncak. Tak kurang 1.025 anak tangga dibuat. Lagi-lagi seorang diri! Supaya pengunjung tak kelelahan, dia juga menambahkan delapan bangku kecil dari bambu untuk istirahat. Kiri kanan ditanami tanaman hias.
Sadiman ingin sekali anak kecil bisa menikmati keindahan alam Bukit Gendol dan sekitar. Diapun membuat undakan agar siapapun bisa menjangkau puncak bukit. “Kini Sadiman sudah mewakili Jateng memperoleh Kalpataru. Menurut saya semangat Mbah Sadiman bisa diterapkan di mana saja. Dia sosok langka, tanpa pamrih. Dia bukan orang kaya, hanya bermodalkan ketulusan,” kata Yusanto.
Hasil perjuangan Sadiman memang tak serta merta dinikmati. Perlu kesabaran puluhan tahun untuk melihat hasil.   “Lima tahun belum merasakan, 10 tahun belum. Sepuluh tahun aliran air masih kecil, 20 tahun baru terasa besar,” kata Sadiman.
Kini, Sadiman tak sendirian. Ada ribuan relawan tersebar siap meneruskan perjuangannya, merawat Hutan Sadiman. Habis

Puluhan mata air kini muncul lalu dimanfaatkan warga untuk air bersih dan pertanian. Foto: Nuswantoro
Puluhan mata air kini muncul lalu dimanfaatkan warga untuk air bersih dan pertanian. Foto: Nuswantoro
Sumber : mongabay.co.id

Ini Kiprah Mbah Sadiman Selamatkan Lingkungan Wonogiri

Pelestari lingkungan dari Wonogiri, Sadiman (istimewa)Pelestari lingkungan dari Wonogiri, Sadiman (istimewa)
Tanpa meminta upah, Sadiman melakukan reboisasi di hutan milik Perhutani di bukit Gendol dan Ampyangan selama 20 tahun. Dikutip dari website kickandy.com, Sadiman adalah seorang petani penggarap lahan tumpangsari di lahan pilik Perhutani.
Warga Dusun Dali, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, ini menanami bukit yang gundul akibat kebakaran dan penebangan liar. Mbah Sadiman rela merogoh kocek sendiri demi membeli bibit yang hendak ditanamnya. Semua berawal tahun 1995 saat dia merasa suhu udara di desanya makin panas, padahal Desa Geneng berada di lereng gunung.
Debit air di sungai terus berkurang, sedangkan beberapa mata air mati. Akibat kekurangan air, warga terserang berbagai macam penyakit seperti gatal-gatal dan diare.
Naluri Mbah Sadiman terketuk. Di tengah cemooh orang-orang di sekitarnya, dia mulai dengan menanam pohon beringin serta bibit pohon penyerap air lainnya. Ia juga menanam pohon bulu dan aneka macam tanaman keras lainnya. Dengan uang sendiri, dia membeli bibit. Padahal harga bibit beringin saat itu cukup mahal, Rp50.000-Rp100.000 per buah.
Ribuan Pohon
Hingga kini, 11.000 pohon diantaranya 4.000 beringin sudah ditanam Sadiman di areal seluas 100 hektare milik Perhutani. Itu belum termasuk ribuan lamtoro yang tumbuh dari benih yang ia sebarkan di seluruh penjuru hutan.
Mbah Sadiman tidak hanya menamam, namun juga merawat dan menanami kembali jika ada pohon yang mati. Berkat usaha dan kegigihannya, keadaan mulai membaik beberapa tahun terakhir. Sejumlah mata air yang bersumber di bukit Gendol dan Ampyangan kembali mengalir. Desa Geneng pun bebas dari krisis air.
Bupati Wonogiri, Joko Sutopo, saat apel pagi di halaman Kantor Pemkab Wonogiri, Kamis (3/3/2016), memberikan dukungan kepada Mbah Sadiman. Joko mengajak masyarakat dan pegawai Pemkab mendukung Mbah Sadiman meraih Kick Andy Heroes Award dengan memilih Sadiman di website resmi Kick Andy.
Mantan Bupati Wonogiri, Danar Rahmanto, pernah memberikan bingkisan kepada Sadiman, 2014 lalu, kiprah besarnya menyelamatkan lingkungan. Dia juga beberapa kali menerima penghargaan dari sejumlah pihak.
Kepala Bagian (Kabag) Humas Pemkab Wonogiri, Agus Sumanto, saat ditemui Solopos.com di Wonogiri, Jumat, bercerita usaha Mbah Sadiman menjaga bukit Gendol dan Ampyangan mampu menjaga kelestarian alam.
“Upaya Mbah Sadiman menanam pohon jenis beringin di bukit Gendol dan Ampyangan mampu menjaga ketersediaan air bersih sehingga air tetap mengalir dan menghidupi 3.000-an jiwa,” terang Agus.

10.000 Bibit untuk Hutan Sadiman

20151129083953
Foto Pj Bupati Wonogiri menyerahkan bibit
BERITAWONOGIRI.COM-BULUKERTO-Peringatan Hari Menanam Dunia, diperingati dengan acara penanaman 10.000 Pohon di Bukit Gunung Gendol Desa Conto dan Desa Geneng kecamatan Bulukerto oleh ribuan masarakat Bulukerto,  Organisasi Kemasarakatan, TNI dan Siswa Siswi SD, SMP, SMK di Bulukerto serta beberapa Relawan dari luar kota, Minggu 29/11.
Kegiatan tanam pohon dihadiri oleh Pj Bupati Wonogiri Sarwa Pramana, perwakilan Muspida dan Muspika Kecamatan Bulukerto. Dalam sambutanya Sarwa Pramana memberikan apresiasi kepada Mbah Sadiman, berharap kegiatan ini tidak hanya seremonial saja, bisa di teruskan dan bisa meluas ke seluruh wilayah Wonogiri terutama Wonogiri selatan yang selama ini mengalamai masalah kekurangan air di musim kemarau.
Kepala SDN Genengrejo 2 Bulukerto Suranto SPd. Selaku koordinator Relawan didampinggi Yusanto mengemukakan, kegiatan menanam pohon tersebut bertujuan untuk mendidik dan memberikan contoh nyata kepada para anak Sekolah, generasi muda , dan siapa saja untuk melestarikan Alam di Bumi seperti jejak mbah Sadiman.
20151129095049
“Bibit pohon yang ditanam 10.000 bibit tanama tersiri dari tanaman beringin, tanaman keras dan buah buahan,  5000 bibit bantuan dari PT Korindo, 2000 bibit dari Astra dan sisanya dari dinas terkait.u tuk ditanam di hutan seluas 809 hektar, Dengan dibantu ribuan relawan untuk proses penanamanya” ujar Yusanto Guru SD N ll Genegrejo Bulukerto, selaku Pelopor Relawan Sadiman .
“Kami menanam bersama Mbah Sadiman, kami termasuk pendamping kelompoknya Mbah Sadiman,” terang Yusanto Kenapa bibit pohon beringin yang ditanam di wilayahnya?. Menurutnya pohon beringin memiliki akar yang kokoh dan banyak, akarnya dapat menyimpan air, menahan, dan memproduksi air. ( N 420 )

Kisah Bapak Sadiman yang Menyelamatkan Hutan Negara dari Kekeringan Seorang Diri

Secara teori, kita semua tahu bahwa kita turut berperan dalam menjaga kelestarian alam. Sejak masih kecil, kita tahu hal-hal yang tidak boleh dilakukan yang dapat merusak alam. Namun nyatanya, hanya sedikit orang yang mau benar-benar mengambil tindakan untuk menjaga keseimbangan alam. Sadiman salah satunya.
Jika sedang tidak bekerja di sawah, ia akan pergi menjelajahi hutan dan mengurus pohon-pohon beringin yang ia tanam sendiri di hutan Gendol. Kegiatan ini sudah dilakukannya sejak awal tahun 1990an. Di saat orang lain sudah tidak terlalu memikirkan apa yang mungkin bisa dilakukan untuk menyelamatkan alam, Sadiman justru bertindak dengan terus menanam bibit pohon dan merawat pohon-pohon yang ia tanam.
Hutan Gendol sendiri sebenarnya adalah hutan negara. Sampai saat ini Sadiman setidaknya sudah menanam 11 ribu pohon di hutan tersebut dan 4 ribu di antaranya adalah pohon beringin. Oleh karena itu, Sadiman akhirnya menjadi satu-satunya orang yang memiliki izin untuk menanami pohon yang dikelola Perhutani tersebut.
Kebakaran dan penebangan pohon yang pernah melanda hutan ini membuat Hutan Gendol kehilangan banyak pohon. Akibatnya, mata air jadi mati sehingga penduduk desa Geneng dan Conto jadi kekurangan air bersih saat musim kemarau tiba. Sadiman kemudian berniat untuk menghidupkan sumber air di gunung yang sudah lama kering. Karena itu pertama kali ia menanami beringin karena pohon tersebut mampu menyimpan cadangan air tanah.
Sadiman sendirian menanam pohon di Hutan Gendul [Image Source]
Untuk membeli pohon bibit pohon beringin dengan harga sekitar 50 ribu hingga 100 ribu rupiah untuk satu bibit pohon, Sadiman harus merogoh kantongnya sendiri. Tentu saja harga tersebut cukup mahal bagi pria berusia 61 tahun yang hanya bekerja sebagai petani dan pencari rumput untuk ternak. Akhirnya ia mengembangkan usaha menjual bibit cengkih di rumahnya. Dari 10 bibit cengkeh yang terjual, ia bisa membeli 1 bibit pohon beringin.
Berkat usahanya, keadaan semakin membaik dengan mengalirnya beberapa mata air yang bersumber di Gunung Gendol. Mata air yang kembali mengalir tersebut mampu menghidupi sedikitnya 3 ribu jiwa. Di saat musim kemarau pun desa tempat tinggal Sadiman akhirnya bebas dari krisis air.
Menanam pohon memang merupakan usaha jangka panjang. Butuh kesabaran dan waktu yang tidak sebentar untuk bisa memperbaiki alam. Namun, usaha penghijauan tidak akan pernah sia-sia. Kini penduduk desa sudah melihat sendiri hasil dari perjuangan keras Sadiman dengan melimpahnya air bersih untuk warga dua desa
Apa yang dilakukan Sadiman bukan untuk mendapatkan penghargaan. Bahkan sumbangan yang diberikan oleh aparat setempat sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan atas usahanya justru ia gunakan untuk membeli lebih banyak bibit pohon lagi. Tujuannya adalah untuk kembali menghijaukan hutan agar masyarakat memiliki sumber air yang cukup.
Apa yang dilakukan Sadiman merupakan bentuk mencintai lingkungan dan negerinya. Cukup dengan menjaga dan merawat lingkungan, kita semua bisa menciptakan tempat tinggal yang lebih baik dan layak.
Mencintai lingkungan bisa dimulai dari diri sendiri. Bapak yang berusia 61 tahun saja masih bisa bekerja keras untuk membuat lingkungannya menjadi lebih baik, masak kamu tidak bisa? Jangan hanya bisa merengek dan menunggu bantuan datang, karena jika kamu mau berusaha keras dan bertindak, kamu juga bisa menjadi agen perubahan

Masyarakat Bulukerto Ikuti Jejak Mbah Sadiman

KEMAH BERSAMA : Sadiman (tengah bertopi) bersama Relawan Peduli Hutan, pelajar, pramuka, TNI/Polri, dan Muspika Bulukerto menggelar kemah di puncak bukit Ampyangan, Dusun Gendol, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri, Sabtu (12/9).(suaramerdeka.com/Khalid Yogi)
KEMAH BERSAMA : Sadiman (tengah bertopi) bersama Relawan Peduli Hutan, pelajar, pramuka, TNI/Polri, dan Muspika Bulukerto menggelar kemah di puncak bukit Ampyangan, Gendol, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri, Sabtu (12/9).(suaramerdeka.com/Khalid Yogi)
WONOGIRI, Kegigihan Mbah Sadiman (64) yang selama 20 tahun menghijaukan hutan di Desa Geneng dan Conto, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri menggugah sebagian masyarakat untuk mengikuti jejaknya. Mereka menggelar aksi penanaman pohon beringin, membentuk Relawan Peduli Hutan dan kemah di puncak bukit Ampyangan, desa setempat hari Sabtu-Minggu (12-13/9).
Kegiatan itu diikuti Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Bulukerto, para pelajar, pramuka, TNI, Polri, warga, perangkat desa dan kecamatan setempat. Bahkan, aksi itu juga diikuti pelajar, pramuka dan relawan dari Kecamatan Purwantoro.
Camat Bulukerto, Misrom mengatakan, kegiatan itu merupakan salah satu bentuk dukungan dari perjuangan Mbah Sadiman. “Berkat usaha Mbah Sadiman, ada sumber air yang bisa dimanfaatkan masyarakat,” katanya saat mengikuti kemah dan penghijauan di Bukit Ampyangan, Sabtu (12/9).
Pihaknya akan menindaklanjuti aksi itu dengan menghimpun bantuan dari berbagai pihak. “Saya berharap masyarakat ikut bersatu dalam perbaikan lingkungan agar bisa dinikmati,” pintanya.
(Khalid Yogi/ CN40/ SM NetworkSuara Merdeka

MBAH SADIMAN, PAHLAWAN PENGHIJAUAN DARI WONOGIRI

Mbah Sadiman, demikian dia biasa disapa, memang hanya warga biasa di kampungnya. Bahkan rumah 9 x 6 meter berlantai tanah yang dia huni bersama istrinya seperti terselip di antara rumah-rumah warga lain yang cukup besar dan kokoh. Dia dan istri menghidupi diri sebagai petani penggarap lahan tumpangsari di areal Perhutani. Yang paling menopang hidupnya adalah menjual rumput di areal hutan untuk dijual di pasar.
Mbah Sadiman, seorang diri memerdekakan tempat tinggalnya dari kekeringan
Namanya Mbah Sadiman, usianya 61 tahun. Buat saya, beliau lah pahlawan pengisi kemerdekaan yang sesungguhnya. Ia berhasil memerdekakan warga di sekitar Gunung Gendol, Bulukerto, Wonogiri dari kekeringan dan krisis air bersih, begitulah penggalan status Facebook Irin Khairina tanggal 18 Agustus lalu. Statusnya banyak menyita perhatian publik dan telah di-share hampir 2500 pengguna Facebook.
Mbah Sadiman yang dimaksud Irin adalah penerima penghargaan Radar Solo Award 2015 untuk kategori Lingkungan Hidup bulan April lalu. Ya, Mbah Sadiman memperoleh penghargaan tersebut karena perjuangannya selama 19 tahun terakhir dalam menghijaukan area Gunung Gendol, Kecamatan Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah. Sebenarnya ia tidak pernah hitung-hitungan, mengharap pujian atau popularitas apapun dari aksinya selama ini. Ia ikhlas melakukannya demi menyelamatkan tempat tinggalnya dari kekeringan. Mbah Sadiman saat menerima penghargaan Radar Solo Award 2015 (Radar Solo) itu.
Bahkan saat ditanya sampai kapan ingin menanam pohon. Mbah Sadiman dengan tegas menjawab, “Nggih ajeng nandur terus, yen isih diparingi bagas waras tetep nandur (Ya akan terus menanam pohon, jika masih diberi kesehatan, bahasa Jawa red)”, tandasnya.
Pria yang tinggal di Dusun Dali, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah ini telah 19 tahun menanam pohon seorang diri. Tahun 1995, kala itu suhu udara di desanya makin panas, padahal desanya berada di lereng gunung. Debit air di sungai-sungai yang berhulu di pegunungan sisi utara kian mengecil dan hanya mengalir saat hujan. Hal ini terjadi karena banyaknya mata air yang mati.
Nalurinya mengatakan, kondisi alam ini terjadi akibat kerusakan hutan. Banyak pohon penyerap air yang dihilangkan untuk diganti dengan pinus. Awal tahun 1996, Mbah Sadiman nekat memulai aksi yang oleh kebanyakan tetangganya dianggap konyol dan membuang-buang waktu. Yaitu berburu bibit beringin serta bibit pohon penyerap air lainnya. Ia tak menghiraukan anggapan tetangganya. Ia terus mencari bibit pohon beringin, pohon bulu dan aneka macam tanaman keras lainnya.
Bibit beringin harganya cukup mahal, berkisar Rp 50.000 hingga Rp 100.000. Awalnya Mbah Sadiman mencangkok pohon beringin di hutan untuk memperoleh bibit secara gratis. Namun cara ini butuh banyak usaha dan waktu. Hal ini membuatnya rela membeli bibit pohon dengan uang pribadinya walaupun hidupnya sebagi petani dan pencari rumput untuk ternak tidak menjajikan banyak materi alias pas-pasan. Hal inilah yang kerapkali membuat istrinya protes.
Kemudian ia menyemai bibit cengkih di halaman rumahnya untuk dijual. Hasil penjualan bibit cengkih ia gunakan untuk membeli bibit pohon beringin. Sepuluh bibit cengkih bisa ditukar dengan satu bibit beringin ukuran satu meter.Hal dilakukannya agar uang untuk kebutuhan dapur tak terganggu.
Sadiman mengurus bibit cengkeh yang ia akan digunakannya untuk ditukar dengan bibit pohon beringin (Rappler).
Tak terasa, sampai saat ini sedikitnya 11.000 pohon – 4.000 di antaranya beringin – sudah ia sedekahkan untuk alam. Itu pun belum termasuk ribuan batang pohon lamtoro yang tumbuh dari benih yang ia sebarkan di seluruh penjuru hutan. Pohon talok pun sengaja ditanam untuk menyediakan makanan bagi kera agar tak merambah tanah pertanian. Karenanya, Sadiman menjadi satu-satunya orang yang mendapat izin menanami lahan yang dikelola oleh Perhutani itu.
Kemerdekaan bagi Mbah Sadiman
Di tengah-tengah semarak hari kemerdekaan ini, dimana sebagian besar masyarakat menyambutnya dengan sukacita perayaan, ia tetap setia melangkahkan kaki menyusuri hutan, memaknai kemerdekaan menurutnya sendiri. Bagi Mbah Sadiman, kemerdekaan itu sederhana. Yaitu hutan kembali hijau, mata air kembali deras dan mencukupi kebutuhan semua orang, termasuk untuk irigasi ladang.
Hampir setiap hari ia menjelajahi hutan, jika tidak sedang mengerjakan ladangnya. Ia bertani padi, tetapi lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus pohon-pohon beringin yang ia tanam di hutan atas. Menapaki jalan sempit berbatu di tepi jurang menganga. Kakinya masih cukup kuat dan cekatan menyusuri jalur terjal naik-turun di antara rumput dan batuan. Lereng-lereng curam pun tak luput ditanami pohon oleh Mbah Sadiman (Rappler).
“Kalau pohon yang masih kecil-kecil tidak dirawat bisa rusak dan mati,” ujarnya sembari menunjukkan beberapa pohon yang ia tanam di lereng bukit curam.
“Niat saya dari awal hanya ingin menghidupkan sumber air di gunung yang sudah lama kering. Saya pertama kali menanami beringin karena pohon ini bisa menyimpan cadangan air tanah,” kata Mbah Sadiman.
Berkat usaha dan kegigihannya, keadaan mulai membaik beberapa tahun lalu. Beberapa mata air yang bersumber di Gunung Gendol kembali mengalir dan mampu menghidupi sedikitnya 3.000 jiwa. Bahkan di saat musim kemarau panjang, ketika wilayah Wonogiri lainnya mengalami kekeringan dan mengandalkan air bersih dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, desa tempat tinggal Sadiman bebas krisis air. Setidaknya, mata air masih mencukupi kebutuhan minum dan sanitasi.
Di bagian hulu, deretan pipa paralon mengalirkan air dari mata air dan meneruskannya ke bak-bak penampungan di setiap rumah. Penduduk saat ini bisa menikmati air segar pegunungan secara gratis. Mereka cukup menyediakan dana swadaya untuk membuat instalasi pipa.
Berkat upaya penghijauan yang dilakukan Mbah Sadiman, mata air kembali mengaliri Desa Geneng dan Desa Conto (Rappler)
“Memang belum semua desa bisa teraliri air. Saya ingin lebih banyak penduduk bisa menikmati air bersih,” kata Mbah Sadiman.
Kepala Desa Geneng, Tarno, menyebut Sadiman sebagai pribadi yang ikhlas karena tidak pernah berharap imbalan dari pemerintah atau orang lain dalam menghijaukan hutan. Ia mengakui upaya Mbah Sadiman telah banyak membantu warga desa sehingga dapat menikmati air bersih.
“Dulu orang menimba air dari sumur di tepian sungai, kalau musim kemarau selalu kering,” kata Tarno. “Sekarang semuanya lebih mudah, setidaknya cukup air untuk kebutuhan rumah tangga sebagian besar warga desa”, lanjutnya.
Desa Geneng terdiri dari 839 keluarga, lebih dari 600 di antaranya mendapatkan akses air bersih dari mata air di Gendol. Sedangkan di Desa Conto, ada dua dusun yang juga memanfaatkan alirannya.
Keberhasilan Mbah Sadiman memperbaiki hutan kini menimbulkan kesadaran bagi warga setempat tentang pentingnya pohon. Sebagian masyarakat yang dulu abai terhadap penghijauan dan menganggap usaha Mbah Sadiman sia-sia, kini mulai ikut peduli terhadap lingkungan. “Beberapa dusun mulai kompak ikut mendukung usaha Pak Sadiman karena mereka sudah melihat hasilnya,” kata Tarno.
Tak Mudah Menyerah
Pekerjaan Mbah Sadiman dalam menanan dan merawat pohon bukanlah tanpa kesulitan. Tidak semua pohon yang ia tanam tumbuh begitu saja. Banyak yang rusak, mati, atau dipangkas orang untuk makanan kambing, namun ia tak gampang menyerah dan terus menanam bibit baru. Bahkan ada juga pohon yang dicabut orang yang tidak setuju lahan yang disewa untuk merumput, ditanami pohon olehnya. Beberapa kali ia terpaksa mengumpulkan uang untuk membayar sewa lahan agar ia bebas menanami pohon.
“Saya bayar sebagai ganti rumputnya agar saya bebas menanami pohon tanpa diganggu,” kata Mbah Sadiman.
Mbah Sadiman sadar bahwa penghijauan adalah pekerjaan jangka panjang yang hasilnya baru bisa dinikmati dalam hitungan tahun. Karenanya, menghijaukan hutan tidak hanya butuh kesabaran, melainkan juga usaha yang terus berkesinambungan.
“Penghijauan tidak hanya menanam bibit saja, tetapi juga menjaganya agar tumbuh menjadi pohon besar dan mencegah penebangan,” ujarnya.
Melihat usaha Mbah Sadiman yang gigih dalam memulihkan hutan, masyarakat setempat menobatkannya sebagai salah satu tokoh inspiratif lokal di bidang lingkungan. Bupati Wonogiri, Danar Rahmanto ingin mengusulkan Sadiman ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menerima penghargaan Kalpataru atas pengabdiannya terhadap hutan dan mata air.
“Dulu mata air ini tidak ada, setelah ditanami pohon-pohon besar kembali deras, bahkan saat kemarau,” kata Danar.
Mbah Sadiman menanam dan merawat pohon-pohonnya dengan serius. Ia membeli sendiri pupuk untuk mendukung pertumbungan tanaman, membuat tulisan larangan penebangan pohon di hutan dan menyiapkan beberapa kader pemuda untuk peduli merawat hutan.
Saat ini, Mbah Sadiman masih membutuhkan sekitar 20.000 bibit pohon lagi untuk ia tanam agar hutan lebih hijau, sekaligus meningkatkan debit air sehingga bisa dinikmati lebih banyak penduduk. Ia juga bisa menerima donasi selain bibit pohon beringin, asal berupa tanaman kayu keras yang berakar kuat.
Mbah Sadiman sudah mengajukan permintaan bibit ke pemerintah, namun sampai sekarang belum ada bantuan sama sekali. Beberapa kali ia menerima sumbangan dari perseorangan sebagai penghargaannya merawat hutan, tetapi tidak pernah masuk kantong pribadinya.
“Pak Sadiman itu kalau dikasih uang Pak Camat, Bupati, atau siapa saja, semuanya dibelikan bibit pohon, tak pernah untuk kebutuhan pribadi dia,” ujar Rahmat, warga desa sekaligus tetangga yang mengagumi semangat petani tua itu. Mbah Sadiman justru lebih mengharapkan bibit pohon baru yang siap untuk ditanam. Ada yang tertarik membantu? I-One/Sumber:detik.com/banyuwanger.com